
Artikel


KPU Sulut Melakukan Penempelan dan Pengumuman DPS
Tepat tanggal 19 September 2020 dimulai pukul 07.00 Wita, Pengumuman DPS diumumkan secara serentak di 1839 desa se Sulawesi Utara, Masyarakat bisa mengecek dan memebrikan tanggapan terkait Daftar Pemilih serentak tersebut, Peran serta masyarakat dalam mensukseskan Pilkada serentak 2020 salah satunya adalah dengan memastikan sudah terdaftar dalam daftar pemilih

Pilkada Ditunda, Apa Kerja KPU
Penulis : Meidy Y. Tinangon Setelah KPU pada bulan Maret menetapkan penundaan 4 (empat) tahapan Pilkada, kemudian Presiden Jokowi menandatangani Perpu Nomor 2 Tahun 2020, maka Pilkada Serentak Tahun 2020 yang hari pemungutan suaranya sebelumnya ditetapkan dilaksanakan tanggal 23 September 2020 telah makin dipastikan ditunda! (baca juga: Detail dan Penjelasan Perpu No 2 Tahun 2020) Lalu, apakah dengan penundaan tersebut penyelenggara Pemilu tak ada pekerjaaan? Penundaan Pilkada tidak menyebabkan institusi penyelenggara Pemilu tak ada kerjaan. Institusi penyelenggara Pemilu eksistensinya telah diatur konstitusi UUD NRI Tahun 1945 Pasal 22E ayat (5), sebagai lembaga yang sifatnya nasional, tetap dan mandiri. Pengertian "tetap" menunjuk pada sifat permanen dari institusi penyelenggara Pemilu. Siapa saja yang dimaksud dengan penyelenggara Pemilu yang permanen tersebut? UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur ada 3 lembaga penyelenggara Pemilu yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Masing-masing lembaga tersebut memiliki tugas dan kewenangan sebagaimana diatur Undang-undang. Ketiga lembaga ini tetap beraktivitas menjalankan tupoksinya. Yang dihentikan aktivitasnya adalah badan penyelenggara ad hoc(sementara), seperti Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) yang telah dilantik dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) yang ditunda pelantikannya. Khusus untuk KPU, penundaan Pilkada menjadi kesempatan untuk melakukan hal-hal yang perlu dipersiapkan sebelum tahapan dilanjutkan kembali. Sehingga ketika tahapan berlanjut, KPU baik di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten telah siap dengan segala sesuatu baik SDM, regulasi dan anggaran untuk melanjutkan tahapan Pilkada, selain melakukan kerja-kerja rutin dan turut serta dalam upaya penanggulangan Pandemi Covid-19. Meskipun penggunaan anggaran Pilkada untuk sementara dihentikan, namun kerja-kerja persiapan Pilkada lanjutan tetap harus berjalan. Kerja-kerja yang dapat dilakukan oleh KPU di daerah meliputi: Pertama, meningkatkan intensitas kegiatan pemahaman regulasi termasuk melakukan kerja-kerja analisis seperti mengidentifikasi potensi-potensi masalah yang belum terakomodir penanganannya dalam UU mapun peraturan dan keputusan KPU. Kerja-kerja tersebut dalam kurun waktu sejak penundaan tahapan di bulan Maret dilaksanakan secara mandiri ataupun secara kolektif melalui virtual meeting. Melalui kerja-kerja ini, maka potensi permasalahan yang dapat timbul dalam Pilkada Serentak Lanjutan bisa terdeteksi sedini mungkin, untuk kemudian ditentukan langkah penanganannya. Kedua, melakukan penataan atau pembenahan SDM. Mempercepat pengisian lowong jabatan struktural di sekretariat KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota, melakukan kreasi penguatan kapasitas (capacity building) komisioner dan staf untuk meningkatkan skill dan profesionalitas personil penyelenggara Pemilu. Ketiga, melakukan analisis kembali terhadap kebutuhan anggaran dan logistik. Pandemi Covid-19 telah mengajarkan kita untuk senantiasa memerhatikan aspek kesehatan kerja. Sekalipun saat Pilkada Serentak Lanjutan berlangsung di saat pandemi telah usai, namun penggunaan masker, ketersediaan tempat cuci tangan serta hand sanitizer, hingga sarung tangan harus menjadi perlengkapan tugas penyelenggara Pemilu hingga tingkat TPS. Hal ini tentu berkonsekwensi terhadap penataan kembali anggaran. Keempat, tetap melakukan pelayanan publik sebagai tanggung jawab rutin KPU, seperti pelayanan informasi publik dengan tentu saja mengoptimalkan pelayanan informasi publik secara online/daring sebagai langkah adaptatif terhadap situasi pandemi Covid-19. [Layanan Pelayanan Informasi Publik Online Klik Disini] [Layanan Produk Hukum online / JDIH KPU Klik disini] Kelima, tetap berada dalam arak-arakan gerakan bersama melawan Covid-19, seperti selama ini telah dilaksanakan KPU secara nasional sebagai gerakan #KPULawanCovid19. Sosialisasi KPU diarahkan kepada Pemilih untuk melakukan upaya pencegahan penularan Covid-19. Penundaan pilkada tidak membuat KPU tiada pekerjaan. Pilkada boleh tunda, namun produktifitas dan profesionalitas penyelenggara Pemilu harus tetap terjaga. Teruslah produktif, lawan Covid-19, songsong Pemilihan Serentak Lanjutan. #StayAtHome #StayProductive Salam demokrasi sehat !!!

Rekapitulasi dan Penegakkan Hukum Pemilu
Oleh: Meidy Yafeth Tinangon (Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan KPU Sulut) Rekapitulasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung tiga pengertian: 1) ringkasan; ikhtisar; 2) ringkasan isi atau ikhtisar pada akhir laporan atau akhir hitungan; 3) pembuatan rincian data yang bercampur aduk menurut kelompok utama. Hiruk pikuk tahapan Pemilu saat ini, berada dalam tahapan rekapitulasi hasil perolehan suara yang akan mencapai puncaknya paling lambat 22 Mei 2019 ketika KPU RI menetapkan hasil puncak rekapitulasi berjenjang yaitu hasil rekapitulasi tingkat nasional dan Penetapan Hasil Pemilu Secara Nasional. Regulasi teknis rekapitulasi yaitu Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2019 pasal 1 angka 24 memberikan batasan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara sebagai sebuah proses penjumlahan hasil penghitungan perolehan suara Pasangan Calon untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Partai Politik dan Calon Anggota DPR untuk Pemilu Anggota DPR, Calon perseorangan untuk Pemilu Anggota DPD, Partai Politik dan calon Anggota DPRD Provinsi untuk Pemilu Anggota DPRD Provinsi, dan Partai Politik dan calon anggota DPRD Kabupaten/Kota untuk Pemilu anggota DPRD Kabupaten/Kota, yang dilakukan oleh PPK, PPLN, KPU/KIP Kabupaten/Kota, KPU Provinsi/KIP Aceh, dan KPU. Dalam pelaksanaan Pemilu yang memegang teguh azas jurdil, maka sistem selalu memberi kesempatan kepada peserta Pemilu “naik banding” terhadap hasil perolehan suara apabila terdapat dugaan pelanggaran (fraud) atau kesalahan (error). Kesempatan awal untuk bisa mempersoalkan hasil adalah saat pelaksanaan rekapitulasi mulai tingkat kecamatan hingga nasional. PENYELESAIAN KEBERATAN DALAM FORUM PLENO REKAPITULASI Soal keberatan yang diajukan dalam forum rapat pleno terbuka rekapitulasi hasil perolehan suara, yang bisa diselesaikan adalah terkait proses dan SELISIH REKAPITULASI di jenjang di bawahnya yang belum diselesaikan. Hal tersebut diatur lanjut dalam Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2019. Hal tersebut diatur dalam Pasal 22, Pasal 52, Pasal 67 dan Pasal 81 Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2019. Ketentuan tersebut mengatur bahwa saksi dan / atau Bawaslu sesuai tingkatan dapat mengajukan keberatan terhadap prosedur atau selisih penghitungan perolehan suara apabila terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Jika terdapat keberatan terkait selisih rekapitulasi yang dilakukan tingkatan di bawahnya, maka KPU wajib memberikan penjelasan atau melakukan pencocokan dokumen hasil rekapitulasi yang dipersoalkan. Jika benar terdapat kekeliruan maka wajib dilakukan koreksi terhadap dokumen dimaksud. Hasil koreksi dicatat dalam formulir DA2/DB2/DC2 sebagai kejadian khusus. Jika saksi masih keberatan maka keberatan dimaksud dicatat sebagai pernyataan keberatan saksi, yang bisa dibahas pada jenjang rekapitulasi di atasnya. PENYELESAIAN KEBERATAN DILUAR FORUM PLENO REKAPITULASI Selain mekanisme penyelesaian keberatan dalam forum Rapat Pleno Terbuka Rekapitulasi, Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 juga mengatur tentang mekanisme penyelesauan keberatan atau dugaan pelanggaran diluar forum rapat pleno yaitu melalui proses penanganan pelanggaran administrasi pemilu di Bawaslu. Pasal 399, 403, dan 407 memberikan kewenangan khusus kepada Bawaslu untuk menerima, memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan rekapitulasi. Dengan ketentuan ini maka peserta pemilu yang menemukan atau menduga adanya pelanggaran dalam proses rekapitulasi atau yang keberatannya tidak dapat diselesaikan dalam forum rapat pleno, dapat mengajukan keberatan terkait pelanggaran rekapitulasi di semua jenjang. Dalam prakteknya mekanisme penyelesaian dugaan pelanggaran administrasi rekapitulasi diselesaikan oleh Bawaslu dalam mekanisme adjudikasi cepat. Dan putusan yang dikeluarkan wajib ditindaklanjuti oleh KPU dalam pelaksanaan rekapitulasi. KERANGKA PENEGAKAN HUKUM PEMILU LAINNYA Mekanisme penanganan pelanggaran lainnya dalam rangka mewujudkan keadilan pemilu (fair election), diatur dalam UU nomor 7 Tahun 2017. Penanganan pelanggaran dilakukan sesuai dengan jenis atau kategorisasi sengketa atau pelanggaran. Sengketa dalam kerangka penegakan hukum Pemilu terdiri dari 2 kategori: 1) Sengketa Proses yang ditangani Bawaslu terhadap keberatan atas keputusan KPU/KPU provinsi/ Kab / Kota. 2) Sengketa Hasil atau Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang ditangani Mahkamah Konsititusi. Sementara itu terkait pelanggaran dan kewenangan penanganannya meliputi: 1) Pelanggaran Administrasi Pemilu oleh Bawaslu 2) Pelanggaran Pidana Pemilu ditangani oleh Bawaslu dan Gakumdu 3) Pelanggaran Kode Etik (KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten Kota) ke DKPP. Pelanggaran kode etik badan adhoc diselesaikan KPU kabupaten/Kota. Dengan demikian, untuk mewujudkan pemilu yang berkeadilan, regulasi telah menyediakan wadah wadah penyaluran keberatan, kecurigaan dan dugaan pelanggaran. Biarlah mekanisme penegakan hukum Pemilu menjadi tempat pencarian keadilan dan pembuktian terbukti tidaknya pelanggaran yang disangkakan. Keadilan pemilu adalah keadilan berdasarkan hukum

Kampanye di Tempat Terlarang: ADMINISTRASI atau PIDANA
Saat ini, aktivitas peserta Pemilu pada tahapan kampanye semakin meningkat seiring dengan dekatnya hari pemungutan suara 17 April 2019. Para kandidat atau tim kampanye hampir setiap hari memiliki agenda berkampanye, namun demikian, di lapangan ditemui berbagai macam pelanggaran berkampanye seperti penggunaan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan. Pasal 280 ayat 1 huruf (h) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengatur bahwa pelaksana, peserta dan Tim Kampanye Pemilu dilarang: menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan. Faktanya, dalam hiruk pikuk masa kampanye saat ini, pelanggaran terhadap ketentuan larangan kampanye pada pasal tersebut masih terjadi, hingga menyeruak dalam diskursus dinamika electoral law enforcement dalam tahapan kampanye Pemilu 2019. Saya membahasakan pelanggaran kampanye tersebut sebagai kampanye di tempat terlarang (locus prohibitus) untuk tidak menyebut secara panjang tiga kategori tempat terlarang tersebut. Ketika pelanggaran itu terjadi, banyak pihak langsung mengarah pada tuntutan sanksi pidana. Padahal, Undang-undang mengatur bahwa pelanggaran terhadap larangan kampanye di Tempat Pendidikan, Tempat Ibadah dan Fasilitas Pemerintah dikategorikan dalam dua jenis pelanggaran yaitu administratif (Pasal 280 ayat 4) atau pidana (Pasal 521). Terkesan ambigu dan kontradiktif, namun sesungguhnya jika kita menelusuri dengan seksama pasal-pasal tersebut maka kita akan menemui pembedanya. Berikut coba diuraikan pengaturan sanksi pelanggaran dimaksud dari aspek sanksi administratif dan pidana. Sanksi Administratif Pengaturan sanksi administratif terhadap pelanggaran kampanye di tempat terlarang dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu diatur dalam Ketentuan Pasal 280 ayat (4) yang mengatur bahwa pelanggaran terhadap larangan ketentuan pada ayat (1) huruf c, huruf f, huruf g, huruf i, dan huruf j, dan ayat (2) merupakan tindak pidana Pemilu. Dalam ketentuan ini larangan pada Pasal 280 ayat 1 huruf a, huruf b, huruf d, huruf e, dan huruf h (Penggunaan Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan ) tidak termasuk tindak pidana Pemilu. Pelanggaran oleh Pelaksana, Peserta dan Tim Kampanye yang bukan tindak pidana berarti termasuk kategori pelanggaran admnistrasi (juncto Pasal 460 ayat 1 dan 2). Penanganan pelanggaran ketentuan Pasal 280 ayat (1) dari sisi penanganan pelanggaran administratif diatur dalam Ketentuan dalam Pasal 309 ayat (2) UU 7 Tahun 2017 yang mengatur bahwa dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup bahwa pelaksana kampanye, peserta kampanye, atau tim kampanye melakukan pelanggaran kampanye sebagaimana dimaksud Pasal 280 ayat (1) dan ayat (2) dalam pelaksanaan kampanye yang mengakibatkan terganggunya pelaksanaan Kampanye Pemilu di tingkat kelurahan/desa, Panwaslu Desa/Kelurahan menyampaikan laporan kepada PPS. Selanjutnya, ketentuan Pasal 310 ayat (1) mewajibkan PPS menindaklanjuti temuan dan laporan pelanggaran Kampanye Pemilu di tingkat kelurahan / desa sebagaimana dimaksud Pasal 309 ayat (2) dengan: menghentikan pelaksanaan kampanye Peserta Pemilu yang bersangkutan yang terjadwal pada hari itu setelah mendapatkan persetujuan dari PPK; melaporkan kepada PPK dalam hal ditemukan bukti permulaan yang cukup tentang adanya tindak pidana Pemilu mengenai pelaksanaan Kampanye Pemilu; melarang pelaksana atau tim Kampanye Pemilu untuk melaksanakan Kampanye Pemilu berikutnya setelah mendapat persetujuan PPK; dan/atau melarang peserta Kampanye Pemilu untuk mengikuti Kampanye Pemilu berikutnya setelah mendapatkan persetujuan PPK. Ketentuan ayat (2) mewajibkan PPK menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dengan melakukan tindakan penyelesaian sebagaimana diatur dalam Undang-undang. Pola penanganan serupa, terhadap pelanggaran Pasal 280 ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Pasal 314 ayat (2) dan Pasal 315 ayat (1) untuk tingkat kecamatan, Pasal 318 untuk tingkat Kabupaten, Pasal 320 untuk tingkat Provinsi, dan Pasal 322 untuk tingkat nasional yang merupakan pola penanganan pelanggaran administratif dalam tahapan Kampanye Pemilu. Namun demikian apabila ditemukan bukti permulaan yang cukup tentang adanya tindak pidana Pemilu mengenai pelaksanaan kampanye, maka temuan dan laporan Panwaslu Desa/Kelurahan kepada PPS dilaporkan kepada PPK, kemudian PPK menindaklanjuti laporan dengan melakukan penyelesaian sebagaimana diatur dalam Undang-undang (Pasal 310 ayat 2). Penyelesaian dimaksud adalah dengan meneruskan laporan dugaan pelanggaran pidana kepada Panwaslu Kecamatan sesuai kewenangannya. Hal serupa perlu dilakukan KPU Kabupaten/Kota terhadap laporan PPK sebagaimana diatur Pasal 315 ayat (1) huruf b dan ayat (2). Ketentuan Pasal 280 ayat (4) di atas diikuti KPU ketika menyusun Peraturan KPU Nomor 23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilu, sebagaimana diubah terakhir dengan PKPU 33 Tahun 2018, sehingga pelanggaran tersebut dikecualikan sebagai tindak pidana Pemilu sesuai bunyi ketentuan Pasal 69 ayat (4) PKPU: “Pelanggaran terhadap larangan ketentuan pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf j kecuali huruf h dan huruf h1, dan ayat (2) merupakan tindak pidana Pemilu”. Hal serupa diatur Pasal 76 (1): “Pelanggaran terhadap larangan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf j kecuali huruf h, dan ayat (2) merupakan tindak pidana dan dikenai sanksi yang diatur dalam Undang-Undang mengenai Pemilu” Selanjutnya dalam Pasal 76 ayat (3) diatur sanksi administratif: Pelanggaran terhadap larangan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h dikenai sanksi: peringatan tertulis walaupun belum menimbulkan gangguan; dan/atau penghentian kegiatan Kampanye di tempat terjadinya pelanggaran atau di suatu daerah yang dapat mengakibatkan gangguan terhadap keamanan yang berpotensi menyebar ke daerah lain. Sanksi Pidana Ketentuan pidana terhadap pelanggaran kampanye di tempat terlarang, diatur dalam ketentuan Pasal 521 UU 7 tahun 2017 yang mengamanatkan bahwa: “Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja melanggar larangan pelaksanaan kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, atau huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 24.000.000,00.(dua puluh empat juta rupiah)”. Selain sanksi Pidana sebagaimana diatur Pasal 521, pelanggaran terhadap larangan kampanye sebagaimana diatur dalam Pasal 280, juga memiliki konsekwensi sanksi administratif lanjutan sebagaimana diatur pasal 285 yaitu: “Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 280 dan Pasal 284 yang dikenai kepada pelaksana Kampanye Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang berstatus sebagai calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota digunakan sebagai dasar KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota mengambil tindakan berupa: pembatalan nama calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dari daftar calon tetap; atau pembatalan penetapan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota sebagai calon terpilih”. Administrasi atau Pidana ? Jika kita perhatikan rumusan Pasal 280 ayat (4) Undang-undang yang mengecualikan pelanggaran larangan kampanye di rumah ibadah, tempat Pendidikan dan fasilitas pemerintah dari kategori pelanggaran Pidana pemilu, dengan Pasal 521 yang mengatur sanksi pidana terhadap pelanggaran tersebut, maka sangat jelas pembedanya terletak pada aspek kesengajaan (dolus). Rumusan Pasal 521 adalah: “Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja melanggar larangan pelaksanaan kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, atau huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 24.000.000,00.(dua puluh empat juta rupiah)”. Artinya, pelanggaran terhadap larangan Penggunaan Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dalam kampanye dapat dikategorikan sebagai pelanggaran pidana Pemilu, apabila dapat dibuktikan adanya unsur kesengajaan (dolus) dalam pelanggaran tersebut. Biasanya dalam rumusan regulasi tentang sanksi pidana ada dua alasan pidana yaitu Kesengajaan (dolus) & Kealpaan (culpa) / lalai. Sebagai catatan, dari sekitar 66 Pasal yang mengatur tindak pidana Pemilu dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 (Pasal 488-554), sekitar 35 pasal dalam rumusannya diawali dengan frasa “dengan sengaja”. Sisanya, mengatur karena kelalaian (culpa) serta untuk pelanggaran tertentu dalam pasal-pasal tersebut langsung dikenai sanksi. Pembuktian terhadap aspek Pidana merupakan kewenangan Sentra Gakkumdu dan pengadilan. Apabila tidak terbukti adanya aspek kesengajaan, maka pelanggaran tersebut merupakan kategori pelanggaran administratif. Hukum pidana menegaskan bahwa seseorang baru dapat dimintai tanggungjawab kalau ia mempunyai (unsur) kesalahan. Unsur kesalahan dalam hukum pidana dapat berupa sengaja atau kelalaian. Dalam ketentuan Pasal 521 yang ditekankan hanya aspek kesengajaan. Aspek “sengaja” oleh para ahli hukum pidana memang menjadi bagian penting dalam pemidanaan. Djoko Prakoso dalam bukunya Tindak Pidana Pemilu, terbitan Sinar Harapan (1987) sebagaimana dikutip Susanto dalam sebuah tulisannya berjudul Karakteristik Tindak Pidana Pemilu Dalam Sistem Hukum Indonesia sebagaimana dipublikasi dalan Journal of Legal and Policy Studies (2016), memberikan pengertian Tindak Pidana Pemilu dengan: “Setiap orang, badan hukum ataupun organisasi yang dengan sengaja melanggar hukum, mengacaukan, menghalang-halangi atau mengganggu jalannya pemilihan umum yang diselenggarakan menurut undang-undang”. Amania (2009) dalam karya tulis hukum bertajuk: Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Pemilu Dalam Masa Kampanye Pada Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, menulis bahwa untuk membuktikan bahwa suatu pelanggaran kampanye memenuhi unsur kesengajaan harus memenuhi memenuhi persyaratan : Terdakwa menghendaki dan mengetahui (willes an weten) terjadinya serta akibat tindak pidana tersebut Perbuatan tersebut timbul dari niat terdakwa dan diwujutkan secara aktif oleh terdakwa Perbuatan tersebut sesuai dengan unsur-unsur dan pelaksanaan suatu kampanye pemilu menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari uraian di atas, dengan demikian dapat disebutkan bahwa tidak bisa secara otomatis, pelaku dugaan pelanggaran kampanye di tempat yang dilarang dikenakan sanksi pidana. Hal mana sangat tergantung pada bagaimana pihak Bawaslu dan Gakumdu mampu membuktikan terpenuhinya unsur kesengajaan (dolus). Jika tidak terpenuhinya unsur tersebut, kemudian penyidikan terus dilanjutkan bahkan sampai ke pengadilan, maka berpeluang terjadi suatu kondisi error in persona atau mengadili dan menghukum seseorang yg tidak bersalah. Konklusi Setiap Pelaksana, peserta dan Tim Kampanye Pemilu termasuk calon anggota DPR/DPRD/DPD dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat Pendidikan dalam setiap kegiatan / metode kampanye. Jika pelanggaran tersebut terjadi maka terdapat dua kemungkinan kategori pelanggaran yaitu pidana atau administratif. Jika terbukti Pelaksana, peserta dan Tim Kampanye melakukan pelanggaran karena kesengajaan maka hal tersebut dikategorikan pidana Pemilu yang dikenakan sanksi pidana. Jika tidak terbukti aspek pidana, maka berarti memenuhi aspek administratif yaitu pelanggaran prosedur dan dikenai sanksi administratif. Setiap proses terhadap suatu pelanggaran sifatnya adalah dugaan (Allegation) yang masih harus dibuktikan melalui prosedur yang diatur. Baiknya, setiap orang menghindari sikap gegabah menilai pemberian sanksi sebelum proses pemeriksaan dan pembuktian berlangsung, apalagi memaksakan kehendak tanpa dasar yang jelas. Biarlah proses hukum berjalan menurut rel prosedur hukum yang diatur regulasi. Keadilan Pemilu adalah keadilan berdasarkan undang-undang, bukan berdasarkan opini apalagi interest. Penulis : Meidy Yafeth Tinangon Komisioner KPU Provinsi Sulawesi Utara/ Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan
Populer
Belum ada data.