Penganugrahan Gerbang Demokrasi Award | KPU Sulut | form untuk pemilih PDPB

Publikasi

Opini

Manado, sulut.kpu.go.id – Memperingati Peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-71, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Sulawesi Utara melakukan Upacara Bendera yang di laksanakan di Kantor KPU Provinsi Sulawesi Utara. Hadir dalam pelaksanaan upacara bendera 5 Komisioner, Sekretaris, Kepala Bagian, Kepala Sub Bagian dan seluruh Staf KPU Provinsi Sulawesi Utara.  Yessy Momongan selaku ketua KPU Provinsi Sulawesi Utara menjadi pembina Upacara sedangkan Fachruddin Noh selaku Anggota KPU Provinsi Sulawesi Utara bertugas untuk membacakan teks proklamasi. Raymond Mamahit selaku Kepala Sub Bagian Teknis dan Hupmas dipercayakan menjadi Pemimpin Upacara.    Dalam sambutannya Yessy menuturkan bahwa KPU harus bisa menjawab tantangan untuk melahirkan pemimpin bangsa yang berkualitas dengan budaya kerja mandiri, profesional, dan berintegritas, Rabu (17/8). Kerja nyata yang ber-azas mandiri, profesional, dan berintegritas tersebut terus dilakukan oleh KPU Provinsi Sulawesi Utara dalam tugasnya sebagai penyelenggara Pemilu.    "Sebagai penyelenggara pemilu, kerja nyata kita yang telah dilaksanakan yaitu sukses dalam pelaksanaan Pileg 2014, Pilpres 2014 dan Pilkada 2015. Selanjut dalam pelaksanaan Pilkada 2017 marilah kita bersama- sama bergandengan tangan menyukseskan pelaksanaan Pilkada 2017 di Provinsi Sulawesi Utara yang dilaksanakan 2 daerah itu Kabupaten Bolaang Mongondow dan Sangihe", ucap Yessy dalam sambutannya.   Saat ini dalam persiapan pelaksanaan Pilkada 2017 dan 2018 serta Pemilu serentak 2019, KPU Provinsi Sulawesi Utara telah melakukan berbagai persiapan. Persiapan- persipan yang telah dilaksanakan sendiri yaitu peningkatan Mutu Sumber Daya Manusia lewat kegiatan Bimbingan Teknis dan Pelatihan serta memaksimalkan penggunaan Teknologi Informasi. Selain itu KPU Provinsi Sulawesi Utara saat ini telah membentuk Rumah Pintar Pemilu (RPP) dan desk pelayanan informasi melalui Pusat Pelayanan Informasi dan Dokumentasi (PPID). Dengan terbentuknya RPP dan PPID, Yessy ingin sarana itu diisi dengan kegiatan yang mampu meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemilihan, serta dapat memberikan informasi yang cepat dan tepat kepada masyarakat.   Dalam mendukung proses lelang, saat ini KPU Provinsi Sulawesi Utara telah memaksimalkan penggunaan LPSE untuk dapat memfasilitasi pengadaan secara transparan dan menghindari praktek kecurangan pengadaan. Melalui LPSE, KPU Provinsi Sulawesi Utara diharapkan mampu melaksanakan supervisi pengadaan logistik pemilu di daerah, sehingga dapat menekan tingkat kesalahan dalam pengadaan.   Selain dukungan sistem berbasis teknologi informasi, KPU telah membentuk Rumah Pintar Pemilu (RPP) dan desk pelayanan informasi melalui Pusat Pelayanan Informasi dan Dokumentasi (PPID). Dengan terbentuknya RPP dan PPID, Juri ingin sarana itu diisi dengan kegiatan yang mampu meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemilihan, serta dapat memberikan informasi yang cepat dan tepat kepada masyarakat.   Dalam pelaksanaan Upacara memperingati HUT RI Ke 71, KPU Provinsi Sulawesi Utara memberikan penghargaan bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang berprestasi sebagaimana tindaklanjut dari surat edaran Sekretaris Jenderal KPU RI. Pemberian Penghargaan bagi PNS Berprestasi ini bertujuan untuk memberikan motivasi bagi PNS dalam meningkatkan kinerjanya serta mendorong PNS lain untuk menunjukkan prestasi secara kompetitif dan mewujudkan panutan dalam bekerja dan berkarya.   Penghargaan PNS berprestasi sendiri di nilai dari 8 Aspek yaitu Orientasi Pelayanan, Integritas, Komitmen, Disiplin, Kerjasama, Kepemimpinan, Inovasi dan Komunikasi. Dalam pemberian penghargaan bagi PNS berpretasi ini dibagi dalam 2 (dua) kategori yaitu Kategori Kepala Sub Bagian dan Kategori Fungsional Umum. Kategori Kepala Sub Bagian yang memperoleh Pengharhaan PNS Bepretasi yaitu Evans E.W. Tulungen, S.Kom., MM selaku Kepala Sub Bagian Program dan Data sedangkan Kategori Fungsional Umum yaitu Ferdinand L. Raintung, ST dari Sub Bagian Umum dan Logisitik, Yohanes Pahargyo, SS dari Sub Bagian Umum dan Lani Alou, SE dari Sub Bagian Organisasi dan SDM. (admin/kpusulut/evans)  

Oleh: Meidy Yafeth Tinangon, SSi., M.Si. (Komisioner KPU Prov. Sulut / Ketua Divisi Hukum) Akhir-akhir ini dalam kaitan pelaksanaan Sengketa Proses Pemilihan Umum (SPPU) yang digelar oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum, khususnya terkait SPPU yang melibatkan bakal calon mantan narapidana korupsi, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) menjadi suatu bagian yang diperbincangkan bahkan diperdebatkan. Sepertinya, masih banyak pihak yang belum menyadari kedudukan dan peran PKPU yang akhirnya bermuara pada pengabaian PKPU. Dimana sebenarnya posisi PKPU dalam Hirarki Peraturan Perundang-undangan di Republik ini? Hirarki Peraturan Perundang-undangan Terkait susunan atau hirarki peraturan perundang-undangan, awalnya menggunakan ketentuan Tap MPR No. III/MPR/2000, Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. Namun dalam perkembangan Tap MPR tersebut sudah tidak berlaku lagi berdasarkan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 yang dalam ketentuan Pasal 4 angka 4 menyebutkan bahwa Tap MPR Nomor III/MPR/2000 dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Undang-Undang.  Dengan pengertian lain bahwa TAP MPR Nomor III/MPR/2000 memiliki sifat berlaku sementara, dan masa berlakunya habis, ketika Pembuat Undang-undang mengundangkan Undang-undang terkait tata urutan peraturan perundang-undangan. Undang-Undang yang mengatur tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang substansinya turut mengatur tata urutan peraturan perundang-undangan telah terbentuk dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dengan demikian Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tidak berlaku lagi dan tidak bisa dijadikan rujukan. Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan menurut ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebagai berikut: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; Undang-Undang / Peraturan Pemerintah  Pengganti  Undang-Undang;  Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Lho, ternyata PKPU tidak tercatat dalam ketentuan tentang hiraki peraturan perundang-undangan di atas. Memang jika kita hanya membaca ketentuan Pasal 7 ayat 1 UU 12 Tahun 2011, kita tidak akan menemukan frasa “peraturan KPU” di dalamnya. Peraturan KPU sebagai  bagian dari hirarki peraturan perundang-undangan akan nyata dalam substansi Pasal selanjutnya, yaitu Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) UU 12 Tahun 2011. Ketentuan ayat 1 menyebutkan bahwa: jenis  Peraturan  Perundang-undangan  selain  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)  mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis  Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung,  Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan,  Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan,  lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala  Desa atau yang setingkat. Selanjunya ketentuan ayat 2 menyebutkan bahwa Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, jelaslah bahwa PKPU dikategorikan sebagai peraturan yang ditetapkan oleh komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang. Lebih lanjut, PKPU jelas diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat karena diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan dibentuk berdasarkan kewenangan yang diberikan Undang-undang kepada KPU. PKPU merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan yang menjadi kewenangan KPU untuk menyusunnya dalam rangka melaksanakan Pemilu. PKPU merupakan pelaksanaan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud Pasal 75 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan umum yang menyebutkan bahwa: “untuk menyelenggarakan Pemilu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, KPU membentuk Peraturan KPU dan Keputusan KPU. Peraturan KPU merupakan pelaksanaan peraturan perundang-undangan.” Secara khusus Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang  Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten / Kota yang menjadi bahan perdebatan dalam SPPU DIAKUI KEBERADAANYA dan mempunyai KEKUATAN HUKUM MENGIKAT, karena diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan (Jo. Pasal 8 ayat 2 UU No. 12 Tahun 2011; Pasal 75 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 249 ayat (3) dan Pasal 257 ayat (3) UU No 7 Tahun 2017). Selain itu, Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 telah diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 834. Sifat “mengikat”  tersebut berarti harus dipatuhi oleh setiap warga negara maupun institusi yang terkait dengan Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 termasuk bakal calon anggota DPD, DPR dan DPRD dan seluruh Partai Politik Peserta Pemilu, Penyelenggara Pemilu (KPU, Bawaslu dan DKPP) serta stakeholder dan masyarakat umum. Kewenangan Judicial Review Apabila dalam pelaksanaannya ada warga negara atau institusi beranggapan bahwa terdapat Pasal-pasal dalam PKPU Nomor 20 Tahun 2018 yang bertentangan dengan Undang-undang, maka warga negara atau institusi yang merasa dirugikan dapat mengajukan uji materi (judicial review) PKPU ke Mahkamah Agung yang memiliki KOMPETENSI/ KEWENANGAN ABSOLUT untuk melakukan pengujian peraturan di bawah Undang-undang. Hanya Mahkamah Agung Republik Indonesia yang dapat menetapkan bahwa Peraturan KPU bertentangan dengan Undang-undang dan tidak berkekuatan hukum mengikat. Demi keadilan dalam Ketuhanan Yang Maha Esa, dalam suatu negara hukum, maka sewajarnyalah setiap warga negara menjunjung tinggi setiap peraturan perundang-undangan yang berlaku, sah dan berkekuatan hukum mengikat, termasuk PKPU. Kompetensi / kewenangan absolut Mahkamah Agung untuk melakukan pengujian peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang didasari pada ketentuan: Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa: “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah UndangUndang terhadap Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang.” Pasal 20 ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa: “Mahkamah Agung berwenang: menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.” Pasal 9 ayat (2) UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan yang menyebutkan bahwa: “Dalam  hal  suatu  Peraturan  Perundang-undangan  di  bawah  Undang-Undang  diduga  bertentangan  dengan Undang-Undang,     pengujiannya     dilakukan     oleh Mahkamah Agung.” Lebih spesifik terkait pengujian PKPU terhadap Undang-Undang, Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengatur bahwa: “Dalam hal Peraturan KPU bertentangan dengan Undang-undang ini, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.” Rumusan pasal ini menegaskan bahwa Peraturan KPU dan (Juga) Peraturan Bawaslu yang kedudukannya setara (sebagai pelaksanaan Undang-Undang) hanya dapat dibatalkan melalui proses pengujian di Mahkamah Agung, sesuai kewenangan absolut yang dimilikinya. Sidang adjudikasi SPPU juga tidak memiliki kewenangan untuk menguji atau menyatakan  bahwa peraturan KPU bertentangan dengan undang-undang. Konsekwensi Hukum PKPU Sebagai sebuah peraturan perundang-undangan yang jelas kedudukannya dalam hirarki peraturan perundang-undangan, serta sifatnya yang diakui dan mengikat, maka PKPU memiliki konsekwensi-konsekwensi bagi setiap masyarakat atau institusi yang terkait dengan PKPU. Pihak pertama yang wajib hukumnya serta memiliki tanggung jawab moral untuk melaksanakan PKPU adalah KPU dan jajarannya. Tidak ada alasan bagi KPU dan jajarannya untuk mangkir dari pelaksanaan peraturan yang dibuatnya. Pelanggaran terhadap PKPU yang masih berlaku merupakan pelanggaran kode etik berat bagi setiap penyelenggara Pemilu. Partai Politik harus memenuhi ketentuan dalam PKPU, misalnya dalam proses pencalonan melakukan seleksi dan tidak melibatkan bakal calon mantan terpidana korupsi, sesuai Pakta Integritas yang ditandatangani oleh Pimpinan Parpol. Dalam Pakta Integritas, Parpol dengan jelas telah berjanji dan berkomitmen bahwa apabila ditemukan adanya bakal calon yang tidak sesuai dengan Pakta Integritas maka Parpol bersedia untuk nama bakal calon tersebut dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga terikat dengan PKPU. Dalam proses pengawasannya, seyogyanya Bawaslu mengawasi apakah ketentuan-ketentuan dalam PKPU sebagai koridor hukum penyelenggaraan tahapan Pemilu dilaksanakan oleh KPU atau Peserta Pemilu atau tidak. Demikian halnya dalam proses adjudikasi SPPU, seyogyanyalah Bawaslu menggunakan PKPU sebagai acuan, bukan justru mengiyakan permohonan Pemohon yang menganggap PKPU bertentangan dengan UU, sementara proses pengujian PKPU belum final. Pada prinsipnya, PKPU yang diakui kedudukannya,  sah dan bersifat mengikat tidak bisa diingkari oleh setiap warga negara apalagi oleh penyelenggara Pemilu. PKPU diadakan untuk menjadi acuan pelaksanaan teknis setiap tahapan sehingga tahapan Pemilu berlangsung sesuai asas tertib dan punya kepastian hukum. Dibutuhkan kesadaran hukum setiap warga negara untuk menaati peratuaran perundang-undangan termasuk PKPU jika kita ingin Pemilu berlangsung tertib sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat di negara demokrasi berdasarkan hukum….. Salam demokrasi  !!!

Tantangan Pemilu Serentak 2019  Dari perspektif tantangan bagi penyelenggara Pemilu dalam konteks Pemilu serentak, Solihah (Peluang dan tantangan pemilu serentak 2019 dalam perspektif politik, Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan Vol.3, No. 1, 2018, 73-88) menguraikan tantangan-tantangan tersebut sebagai berikut:  Peluang adanya pemilu serentak bagi penyelenggara pemilu adalah efisiensi biaya pemilu itu sendiri. Dalam konteks Indonesia, penyelenggara pemilu meliputi KPU dan Bawaslu yang dalam pelaksanaan tugasnya secara etis dikontrol oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemiu (DKPP). KPU bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemilu mulai dari pendataan pemilih, menerima dan memvalidasi nominasi kontestan pemilu baik partai politik maupun kandidat, melaksanakan pemilu, perhitungan suara dan rekapitulasi suara. Sementara Bawaslu bertugas mengawasi pelaksanaan pemilu agar sesuai dengan asas pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Dalam pelaksanaan peran dan fungsi tersebut tentunya terkait banyak aspek teknis pemilu dan manajemen pemilu yang harus dilakukan. Sistem pemilu yang berbeda membutuhkan pengaturan dan persiapan serta manajemen pemilu yang berbeda. Peluang terbesar dari penyelenggara pemilu dengan dilaksanakannya pemilu serentak adalah efisiensi anggaran pemilu, karena pemilu tidak lagi dilaksanakan berkali kali. Sedangkan tantangannya, perubahan sistem pemilu dari pemilu bertahap menjadi pemilu serentak membawa konsekuensi teknis penyelenggaraan pemilu yang cukup besar. Pelaksanaan pemilu serentak membutuhkan kapabilitas dan profesionalitas penyelenggara pemilu yang baik. Meskipun pemilu serentak rentang waktu pelaksanaan pemilu menjadi lebih pendek dan penggunaan anggaran lebih efisien, namun persiapan penyelenggaraan pemilu membutuhkan waktu yang cukup panjang. Aspek teknis penyelenggaraan pemilu menjadi lebih rumit. Logistik pemilu menjadi lebih banyak, sehingga harus dipersiapkan secara matang agar pelaksanaan pemilu tidak mengalami hambatan. Masalah kapabitas penyelenggara pemilu ini sangat penting untuk suksesnya pemilu serentak. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Reynolds, dkk. (2008: 124), bahwa apabila terdapat permasalahan kapabilitas dalam menangani logistik, pemilu legislatif dan pemilu presiden secara terpisah merupakan pilihan. Pemilu serentak juga membutuhkan kertas suara yang lebih banyak, serta waktu yang dibutuhkan pemilih di dalam bilik suara menjadi lebih banyak. Oleh karena itu penyelenggara pemilu dituntut untuk bisa mendesain surat suara yang lebih sederhana. Selain itu, sosialisasi kepada pemilih harus dilaksanakan secara lebih luas baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya agar tetap tercipta pemilu yang berkualitas pula.  Selain itu, tantangan terbesar di setiap Pemilu Indonesia adalah untuk mewujudkan harapan ideal terhadap Pemilu yaitu berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Tata Kelola Pemilu 2019: Mewujudkan Harapan, Menjawab Tantangan Bagi KPU sebagai penanggung jawab teknis penyelenggaraan Pemilu, Pemilu serentak Tahun 2019 merupakanpeluang untuk mewujudkan harapan ideal dan menjawab tantangan-tantangan dalam perubahan sistem pelaksanaan dari pemilu terpisah ke Pemilu serentak.  Menjawab tantangan tersebut, KPU melaksanakan serangkaian upaya pembenahan teknis tata kelola Pemilu diantaranya dapat diuraikan sebagai berikut: a. Pemenuhan asas langsung.  Dengan asas langsung, rakyat sebagai Pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara. Upaya KPU diantaranya adalah mengupayakan terwujudnya aksesibilitas atau terwujudnya Pemilu akses, yaitu tatalaksana Pemilu yang memberikan akses bagi Pemilih untuk memberikan suaranya tanpa hambatan diantaranya secara teknis dengan mengatur dan melaksanakan pendaftaran pemilih, sosialisasi dan TPS yang yang aksesabel serta logistik yang aksesebel, dimana hak-hak kaum disabilitas / difabel. b. Pemenuhan asas umum. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial. KPU dalam setiap tahapan berusaha melayani pemilih sesuai dengan motto/tagline “KPU melayani” di setiap tahapan mulai dari penyusunan regulasi, pendaftaran pemilih, sosialisasi hingga pemungutan suara di TPS. Hak konstitusi warga negara untuk memilih berusaha dilindungi karenanya dalam tahap pemutakhiran data pemilih semangat melindungi hak pilih tergambar dengan adanya perbaikan DPT menjadi lebih akurat dan mengakomodir pemilih yang belum terdaftar. Sosialisasi dilakukan sampai pada daerah-daerah yang berkebutuhan khusus terhadap akses informasi. c. Pemenuhan asas bebas. Setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapa pun. Dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya oleh negara, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani. Mewujudkan asas ini secara teknis memang terdapat tantangannya dari Pemilu ke Pemilu, misalnya dengan masih adanya dugaan politik uang dan intimidasi / mobilisasi ASN. Regulasi kita telah mengatur sedemikian rupa upaya pencegahan dan penegakan hukum untuk mencegah terjadinya politik uang dan ASN yang tidak netral.   d. Pemenuhan asas rahasia. Asas rahasia berarti, dalam memberikan suaranya, Pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak mana pun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain. Upaya utama KPU adalah dengan mewajibkan TPS yang menjamin pilihan pemilih tidak diketahui orang lain. Juga ada larangan menggunakan kamera dalam bilik TPS. e. Pemenuhan asas Jujur dan Adil Dalam penyelenggaraan Pemilu ini, penyelenggara Pemilu, aparat pemerintah, Peserta Pemilu, pengawas Pemilu, pemantau Pemilu, Pemilih, serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan asas adil, berarti setiap Pemilih dan Peserta Pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak mana pun. Untuk mewujudkan hal ini, KPU memberi Penekanan pada rekrutmen penyelenggara Pemilu serta penguatan pemahaman kode etik penyelenggara pemilu. Integritas proses dan hasil Pemilu juga menjadi perhatian KPU, karenanya KPU telah menata sedemikian rupa setiap tahapan ke arah transparansi. Akses terhadap setiap keputusan lewat konsistensi melaksanakan keterbukaan informasi publik dan proses scanning upload hasil Pemilu dengan Sistem Informasi penghitungan Suara (Situng) untuk menutup celah bagi ketidakdilan dan perilaku curang.  Upaya upaya KPU telah maksimal untuk mewujudkan Pemilu yang LUBER dan JURDIL. Untuk lebih memaksimalkan lagi, KPU butuh peran masyarakat termasuk mahasiswa untuk secara bersama-sama mewujudkan Pemilu serentak Tahun 2019. Partisipasi masyarakat di setiap tahapan sangan diharapkan, bukan hanya untuk menggunakan hal pilih, tetapi juga memberikan masukan, pendapat, saran, kritikan yang konstruktif untuk Pemilu Indonesia yang lebih baik, untuk demokrasi Indonesia yang makin substansial. Meidy Yafeth Tinangon Komisioner KPU Prov. Sulut / Divisi Hukum dan Pengawasan

Saat ini, aktivitas peserta Pemilu pada tahapan kampanye semakin meningkat seiring dengan dekatnya hari pemungutan suara 17 April 2019. Para kandidat atau tim kampanye hampir setiap hari memiliki agenda berkampanye, namun demikian, di lapangan ditemui berbagai macam pelanggaran berkampanye seperti penggunaan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan. Pasal 280 ayat 1 huruf (h) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengatur bahwa pelaksana, peserta dan Tim Kampanye Pemilu dilarang:  menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan. Faktanya, dalam hiruk pikuk masa kampanye saat ini, pelanggaran terhadap ketentuan larangan kampanye pada pasal tersebut masih terjadi, hingga menyeruak dalam diskursus dinamika electoral law enforcement dalam tahapan kampanye Pemilu 2019. Saya membahasakan pelanggaran kampanye tersebut sebagai kampanye di tempat terlarang (locus prohibitus)  untuk tidak menyebut secara panjang tiga kategori tempat terlarang tersebut.  Ketika pelanggaran itu terjadi, banyak pihak langsung mengarah pada tuntutan sanksi pidana. Padahal, Undang-undang mengatur bahwa pelanggaran terhadap larangan kampanye di Tempat Pendidikan, Tempat Ibadah dan Fasilitas Pemerintah dikategorikan dalam dua jenis pelanggaran yaitu administratif (Pasal 280 ayat 4) atau pidana (Pasal 521).  Terkesan ambigu dan kontradiktif, namun sesungguhnya jika kita menelusuri dengan seksama pasal-pasal tersebut maka kita akan menemui pembedanya. Berikut coba diuraikan pengaturan sanksi pelanggaran dimaksud dari aspek sanksi administratif dan pidana. Sanksi Administratif Pengaturan sanksi administratif terhadap pelanggaran kampanye di tempat terlarang dalam  UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu diatur dalam Ketentuan Pasal 280 ayat (4) yang mengatur bahwa pelanggaran terhadap larangan ketentuan pada ayat (1) huruf c, huruf f, huruf g, huruf i, dan huruf j, dan ayat (2) merupakan tindak pidana Pemilu. Dalam ketentuan ini larangan pada Pasal 280 ayat 1 huruf a, huruf b, huruf d, huruf e, dan huruf h (Penggunaan Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan ) tidak termasuk tindak pidana Pemilu. Pelanggaran oleh Pelaksana, Peserta dan Tim Kampanye yang bukan tindak pidana berarti termasuk kategori pelanggaran admnistrasi (juncto Pasal 460 ayat 1 dan 2). Penanganan pelanggaran ketentuan Pasal 280 ayat (1) dari sisi penanganan pelanggaran administratif diatur dalam Ketentuan dalam Pasal 309 ayat (2) UU 7 Tahun 2017 yang mengatur bahwa dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup bahwa pelaksana kampanye, peserta kampanye, atau tim kampanye melakukan pelanggaran kampanye sebagaimana dimaksud Pasal 280 ayat (1) dan ayat (2) dalam pelaksanaan kampanye yang mengakibatkan terganggunya pelaksanaan Kampanye Pemilu di tingkat kelurahan/desa, Panwaslu Desa/Kelurahan menyampaikan laporan kepada PPS. Selanjutnya, ketentuan Pasal 310 ayat (1) mewajibkan PPS menindaklanjuti temuan dan laporan pelanggaran Kampanye Pemilu di tingkat kelurahan / desa sebagaimana dimaksud Pasal 309 ayat (2) dengan: menghentikan pelaksanaan kampanye Peserta Pemilu yang bersangkutan yang terjadwal pada hari itu setelah mendapatkan persetujuan dari PPK; melaporkan kepada PPK dalam hal ditemukan bukti permulaan yang cukup tentang adanya tindak pidana Pemilu mengenai pelaksanaan Kampanye Pemilu; melarang pelaksana atau tim Kampanye Pemilu untuk melaksanakan Kampanye Pemilu berikutnya setelah mendapat persetujuan PPK; dan/atau  melarang peserta Kampanye Pemilu untuk mengikuti Kampanye Pemilu berikutnya setelah mendapatkan persetujuan PPK. Ketentuan ayat (2) mewajibkan PPK menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dengan melakukan tindakan penyelesaian sebagaimana diatur dalam Undang-undang. Pola penanganan serupa, terhadap pelanggaran Pasal 280 ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Pasal 314 ayat (2) dan Pasal 315 ayat (1) untuk tingkat kecamatan, Pasal 318 untuk tingkat Kabupaten, Pasal 320 untuk tingkat Provinsi, dan Pasal 322 untuk tingkat nasional yang merupakan pola penanganan pelanggaran administratif dalam tahapan Kampanye Pemilu.  Namun demikian apabila ditemukan bukti permulaan yang cukup tentang adanya tindak pidana Pemilu mengenai pelaksanaan kampanye, maka temuan dan laporan Panwaslu Desa/Kelurahan kepada PPS dilaporkan kepada PPK, kemudian PPK menindaklanjuti laporan dengan melakukan penyelesaian sebagaimana diatur dalam Undang-undang (Pasal 310 ayat 2). Penyelesaian dimaksud adalah dengan meneruskan laporan dugaan pelanggaran pidana kepada Panwaslu Kecamatan sesuai kewenangannya. Hal serupa perlu dilakukan KPU Kabupaten/Kota terhadap laporan PPK sebagaimana diatur Pasal 315 ayat (1) huruf b dan ayat (2). Ketentuan Pasal 280 ayat (4) di atas   diikuti KPU ketika menyusun Peraturan KPU Nomor 23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilu, sebagaimana diubah terakhir dengan PKPU 33 Tahun 2018, sehingga pelanggaran tersebut dikecualikan sebagai tindak pidana Pemilu sesuai bunyi ketentuan Pasal 69 ayat (4) PKPU:   “Pelanggaran terhadap larangan ketentuan pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf j kecuali huruf h dan huruf h1, dan ayat (2) merupakan tindak pidana Pemilu”.  Hal serupa diatur Pasal 76 (1):  “Pelanggaran terhadap larangan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf j kecuali huruf h, dan ayat (2) merupakan tindak pidana dan dikenai sanksi yang diatur dalam Undang-Undang mengenai Pemilu” Selanjutnya dalam Pasal 76 ayat (3) diatur sanksi administratif: Pelanggaran terhadap larangan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h dikenai sanksi: peringatan tertulis walaupun belum menimbulkan gangguan; dan/atau penghentian kegiatan Kampanye di tempat terjadinya pelanggaran atau di suatu daerah yang dapat mengakibatkan gangguan terhadap keamanan yang berpotensi menyebar ke daerah lain.  Sanksi Pidana Ketentuan pidana terhadap pelanggaran kampanye di tempat terlarang, diatur dalam ketentuan Pasal 521 UU 7 tahun 2017 yang mengamanatkan  bahwa:  “Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja melanggar larangan pelaksanaan kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, atau huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 24.000.000,00.(dua puluh empat juta rupiah)”. Selain sanksi Pidana sebagaimana diatur Pasal 521, pelanggaran terhadap larangan kampanye sebagaimana diatur dalam Pasal 280, juga memiliki konsekwensi sanksi administratif lanjutan sebagaimana diatur pasal 285 yaitu:  “Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 280 dan Pasal 284 yang dikenai kepada pelaksana Kampanye Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang berstatus sebagai calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota digunakan sebagai dasar KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota mengambil tindakan berupa: pembatalan nama calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dari daftar calon tetap; atau pembatalan penetapan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota sebagai calon terpilih”. Administrasi atau Pidana ? Jika kita perhatikan rumusan Pasal 280 ayat (4) Undang-undang yang mengecualikan pelanggaran larangan kampanye di rumah ibadah, tempat Pendidikan dan fasilitas pemerintah dari kategori pelanggaran Pidana pemilu, dengan Pasal 521 yang mengatur sanksi pidana terhadap pelanggaran tersebut, maka sangat jelas pembedanya terletak pada aspek kesengajaan (dolus).  Rumusan Pasal 521 adalah: “Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja melanggar larangan pelaksanaan kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, atau huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 24.000.000,00.(dua puluh empat juta rupiah)”. Artinya, pelanggaran terhadap larangan Penggunaan Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dalam kampanye dapat dikategorikan sebagai pelanggaran pidana Pemilu, apabila dapat dibuktikan adanya unsur kesengajaan (dolus) dalam pelanggaran tersebut. Biasanya dalam rumusan regulasi tentang sanksi pidana ada dua alasan pidana yaitu Kesengajaan (dolus) & Kealpaan (culpa) / lalai.  Sebagai catatan, dari sekitar 66 Pasal yang mengatur tindak pidana Pemilu dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 (Pasal 488-554), sekitar 35 pasal dalam rumusannya diawali dengan frasa “dengan sengaja”. Sisanya, mengatur karena kelalaian (culpa) serta untuk pelanggaran tertentu dalam pasal-pasal tersebut langsung dikenai sanksi. Pembuktian terhadap aspek Pidana merupakan kewenangan Sentra Gakkumdu dan pengadilan. Apabila tidak terbukti adanya aspek kesengajaan, maka pelanggaran tersebut merupakan kategori pelanggaran administratif. Hukum pidana menegaskan bahwa seseorang baru dapat dimintai tanggungjawab kalau ia mempunyai (unsur) kesalahan. Unsur kesalahan dalam hukum pidana dapat berupa sengaja atau kelalaian. Dalam ketentuan Pasal 521 yang ditekankan hanya aspek kesengajaan.  Aspek “sengaja” oleh para ahli hukum pidana memang menjadi bagian penting dalam pemidanaan. Djoko Prakoso dalam bukunya Tindak Pidana Pemilu, terbitan Sinar Harapan (1987) sebagaimana dikutip Susanto dalam sebuah tulisannya berjudul Karakteristik Tindak Pidana Pemilu  Dalam Sistem Hukum Indonesia sebagaimana dipublikasi dalan Journal of Legal and Policy Studies (2016), memberikan pengertian Tindak Pidana Pemilu dengan: “Setiap orang, badan hukum ataupun organisasi yang dengan sengaja melanggar  hukum, mengacaukan, menghalang-halangi atau mengganggu jalannya pemilihan umum yang diselenggarakan menurut undang-undang”. Amania (2009) dalam karya tulis hukum bertajuk: Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Pemilu Dalam Masa Kampanye Pada Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, menulis bahwa untuk membuktikan bahwa suatu pelanggaran kampanye memenuhi unsur kesengajaan harus memenuhi memenuhi persyaratan : Terdakwa menghendaki dan mengetahui (willes an weten) terjadinya serta akibat tindak pidana tersebut Perbuatan tersebut timbul dari niat terdakwa dan diwujutkan secara aktif oleh terdakwa Perbuatan tersebut sesuai dengan unsur-unsur dan pelaksanaan suatu kampanye pemilu menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari uraian di atas, dengan demikian dapat disebutkan bahwa tidak bisa secara otomatis, pelaku dugaan pelanggaran kampanye di tempat yang dilarang dikenakan sanksi pidana. Hal mana sangat tergantung pada bagaimana pihak Bawaslu dan Gakumdu mampu membuktikan terpenuhinya unsur kesengajaan (dolus).  Jika tidak terpenuhinya unsur tersebut, kemudian penyidikan terus dilanjutkan bahkan sampai ke pengadilan, maka berpeluang terjadi suatu kondisi error in persona atau mengadili dan menghukum seseorang yg tidak bersalah. Konklusi Setiap Pelaksana, peserta dan Tim Kampanye Pemilu termasuk calon anggota DPR/DPRD/DPD dilarang  menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat Pendidikan dalam setiap kegiatan / metode kampanye.  Jika pelanggaran tersebut terjadi maka terdapat dua kemungkinan kategori pelanggaran yaitu pidana atau administratif. Jika terbukti Pelaksana, peserta dan Tim Kampanye melakukan pelanggaran karena kesengajaan maka hal tersebut dikategorikan pidana Pemilu yang dikenakan sanksi pidana. Jika tidak terbukti aspek pidana, maka berarti memenuhi aspek administratif yaitu pelanggaran prosedur dan dikenai sanksi administratif. Setiap proses terhadap suatu pelanggaran sifatnya adalah dugaan (Allegation) yang masih harus dibuktikan melalui prosedur yang diatur. Baiknya, setiap orang menghindari sikap gegabah menilai pemberian sanksi sebelum proses pemeriksaan dan pembuktian berlangsung, apalagi memaksakan kehendak tanpa dasar yang jelas. Biarlah proses hukum berjalan menurut rel prosedur hukum yang diatur regulasi. Keadilan Pemilu adalah keadilan berdasarkan undang-undang, bukan berdasarkan opini apalagi interest. Penulis : Meidy Yafeth Tinangon Komisioner KPU Provinsi Sulawesi Utara/ Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan

Oleh: Meidy Yafeth Tinangon (Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan KPU Sulut) Rekapitulasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung tiga pengertian: 1) ringkasan; ikhtisar; 2)  ringkasan isi atau ikhtisar pada akhir laporan atau akhir hitungan; 3) pembuatan rincian data yang bercampur aduk menurut kelompok utama. Hiruk pikuk tahapan Pemilu saat ini,  berada dalam tahapan rekapitulasi hasil perolehan suara yang akan mencapai puncaknya paling lambat 22 Mei 2019 ketika KPU RI menetapkan hasil puncak rekapitulasi berjenjang yaitu hasil rekapitulasi tingkat nasional dan Penetapan Hasil Pemilu Secara Nasional. Regulasi teknis rekapitulasi yaitu Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2019 pasal 1 angka 24 memberikan batasan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara sebagai sebuah proses penjumlahan hasil penghitungan perolehan suara Pasangan Calon untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Partai Politik dan Calon Anggota DPR untuk Pemilu Anggota DPR, Calon perseorangan untuk Pemilu Anggota DPD, Partai Politik dan calon Anggota DPRD Provinsi untuk Pemilu Anggota DPRD Provinsi, dan Partai Politik dan calon anggota DPRD Kabupaten/Kota untuk Pemilu anggota DPRD Kabupaten/Kota, yang dilakukan oleh PPK, PPLN, KPU/KIP Kabupaten/Kota, KPU Provinsi/KIP Aceh, dan KPU. Dalam pelaksanaan Pemilu yang memegang teguh azas jurdil,  maka sistem selalu memberi kesempatan kepada peserta Pemilu “naik banding” terhadap hasil perolehan suara apabila terdapat dugaan pelanggaran (fraud)  atau kesalahan (error). Kesempatan awal untuk bisa mempersoalkan hasil adalah saat pelaksanaan rekapitulasi mulai tingkat kecamatan hingga nasional.  PENYELESAIAN KEBERATAN DALAM FORUM PLENO REKAPITULASI Soal keberatan yang diajukan dalam forum rapat pleno terbuka rekapitulasi hasil perolehan suara,  yang bisa diselesaikan adalah terkait proses dan SELISIH REKAPITULASI di jenjang di bawahnya yang belum diselesaikan. Hal tersebut diatur lanjut dalam Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2019. Hal tersebut diatur dalam Pasal 22, Pasal 52, Pasal 67 dan Pasal 81 Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2019. Ketentuan tersebut mengatur bahwa saksi dan / atau Bawaslu sesuai tingkatan dapat mengajukan keberatan terhadap prosedur atau selisih penghitungan perolehan suara apabila terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Jika terdapat keberatan terkait selisih rekapitulasi yang dilakukan tingkatan di bawahnya,  maka KPU wajib memberikan penjelasan atau melakukan pencocokan dokumen hasil rekapitulasi yang dipersoalkan. Jika benar terdapat kekeliruan maka wajib dilakukan koreksi terhadap dokumen dimaksud. Hasil koreksi dicatat dalam formulir DA2/DB2/DC2 sebagai kejadian khusus. Jika saksi masih keberatan maka keberatan dimaksud dicatat sebagai pernyataan keberatan saksi,  yang bisa dibahas pada jenjang rekapitulasi di atasnya. PENYELESAIAN KEBERATAN DILUAR FORUM PLENO REKAPITULASI Selain mekanisme penyelesaian keberatan dalam forum Rapat Pleno Terbuka Rekapitulasi,  Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 juga mengatur tentang mekanisme penyelesauan keberatan atau dugaan pelanggaran diluar forum rapat pleno yaitu melalui proses penanganan pelanggaran administrasi pemilu di Bawaslu. Pasal 399, 403, dan 407 memberikan kewenangan khusus kepada Bawaslu untuk menerima,  memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan rekapitulasi. Dengan ketentuan ini maka peserta pemilu yang menemukan atau menduga adanya pelanggaran dalam proses rekapitulasi atau yang keberatannya tidak dapat diselesaikan dalam forum rapat pleno, dapat mengajukan keberatan terkait pelanggaran rekapitulasi di semua jenjang. Dalam prakteknya mekanisme penyelesaian dugaan pelanggaran administrasi rekapitulasi diselesaikan oleh Bawaslu dalam mekanisme adjudikasi cepat.  Dan putusan yang dikeluarkan wajib ditindaklanjuti oleh KPU dalam pelaksanaan rekapitulasi. KERANGKA PENEGAKAN HUKUM PEMILU LAINNYA Mekanisme penanganan pelanggaran lainnya dalam rangka mewujudkan keadilan pemilu (fair election), diatur dalam UU nomor 7 Tahun 2017. Penanganan pelanggaran dilakukan sesuai dengan jenis atau kategorisasi sengketa atau pelanggaran. Sengketa dalam kerangka penegakan hukum Pemilu terdiri dari 2 kategori: 1) Sengketa Proses yang ditangani Bawaslu terhadap keberatan atas keputusan KPU/KPU provinsi/ Kab / Kota.  2) Sengketa Hasil atau Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang ditangani Mahkamah Konsititusi. Sementara itu terkait pelanggaran dan kewenangan penanganannya meliputi: 1) Pelanggaran Administrasi Pemilu oleh Bawaslu 2) Pelanggaran Pidana Pemilu ditangani oleh Bawaslu dan Gakumdu 3) Pelanggaran Kode Etik (KPU,  KPU provinsi dan KPU kabupaten Kota) ke DKPP.  Pelanggaran kode etik badan adhoc  diselesaikan KPU kabupaten/Kota. Dengan demikian,  untuk mewujudkan pemilu yang berkeadilan, regulasi telah menyediakan wadah wadah penyaluran keberatan, kecurigaan dan dugaan pelanggaran. Biarlah mekanisme penegakan hukum Pemilu menjadi tempat pencarian keadilan dan pembuktian terbukti tidaknya pelanggaran yang disangkakan.  Keadilan pemilu adalah keadilan berdasarkan hukum